IESR: Target Bauran Energi Terbarukan Gagal Tercapai Sembilan Tahun Berturut-turut

4 hours ago 1

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Lembaga think tank Institute for Essential Service Reform (IESR) menyatakan, meskipun komitmen Indonesia terhadap energi terbarukan tampak menguat dalam satu dekade terakhir, implementasinya masih jauh dari target. IESR mencatat dominasi energi fosil justru semakin besar dan memperdalam ketergantungan terhadap pasokan energi.

Menurut IESR, wacana transisi energi yang mulai dicanangkan sejak pemerintahan sebelumnya belum diterjemahkan dalam aksi konkret. Di sisi lain, janji Presiden Prabowo untuk menghentikan energi fosil dalam 10 sampai 15 tahun dan mencapai 100 persen energi terbarukan masih menyisakan jurang implementasi yang lebar.

Dalam laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2026, bertajuk Rhetoric or Reality: Aligning Economic Growth with Energy Transition, IESR mencatat selama sembilan tahun berturut-turut, Indonesia gagal mencapai target bauran energi terbarukan yang pada 2014 ditetapkan sebesar 23 persen pada 2025. Namun, hingga pertengahan 2025, realisasi baru mencapai sekitar 16 persen.

IESR memproyeksikan jika tidak ada tindakan berarti, target pertumbuhan ekonomi 8 persen pada 2029 justru akan menaikkan emisi hingga 17 persen pada 2040.

IESR menyebut pertumbuhan ekonomi akan mempersulit pencapaian target nol emisi pada 2060. IESR menilai Indonesia perlu membuktikan kredibilitasnya dengan memperbaiki kebijakan, memperkuat infrastruktur jaringan, serta menutup kesenjangan pembiayaan.

Perkembangan positif datang dari biaya energi terbarukan yang semakin murah, tumbuhnya industri pendukung seperti kendaraan listrik dan baterai, serta tersedianya data proyek energi terbarukan yang siap dibangun. Hal ini menjadi modal besar yang harus dimanfaatkan agar Indonesia menjadi kekuatan energi terbarukan di kawasan.

Chief Executive Officer (CEO) IESR, Fabby Tumiwa, mengatakan adanya paradoks di Indonesia, yakni tidak mau melepaskan diri dari energi fosil, padahal memiliki sumber daya energi terbarukan yang sangat besar.

Selain itu, keinginan mempertahankan PLTU justru berlawanan dengan tren global, di mana PLTU mulai ditinggalkan oleh negara-negara maju. Sementara itu, investasi energi bersih dunia pada 2024 bahkan meningkat hingga 10 kali lipat dibandingkan investasi energi fosil.

“Transisi energi Indonesia berjalan lambat karena tiga hambatan struktural, yaitu kerangka peraturan yang tidak koheren, kebijakan fiskal yang memberikan insentif penggunaan energi fosil, serta fragmentasi institusi dan prioritas,” kata Fabby dalam peluncuran laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2026, Kamis (20/11/2025).

Fabby menambahkan, ketidakmampuan pemerintah mengatasi hambatan-hambatan tersebut membuat pengembangan energi terbarukan dan efisiensi energi terhambat, seiring dengan memburuknya iklim investasi energi bersih. Ia menekankan pemerintah harus bekerja ekstra keras untuk memangkas hambatan transisi energi yang masih bertahan.

Terdapat beberapa area utama yang membutuhkan transformasi segera, antara lain koordinasi kebijakan dan prioritas antarlembaga yang selama ini lemah dan sering bertabrakan, restrukturisasi industri kelistrikan, keputusan untuk menghentikan pembangunan PLTU baru dan mempensiunkan PLTU eksisting, serta pemberian insentif dan instrumen pendanaan energi bersih.

Analis Sistem Ketenagalistrikan IESR, Abraham Octama Halim, menjelaskan kebutuhan listrik Indonesia tumbuh sangat cepat, antara 3 hingga 10 persen setiap tahun. Pertumbuhan ini seharusnya diisi oleh energi terbarukan agar bauran energi terbarukan dapat meningkat cepat.

Di luar sistem Jawa–Bali, pembangkit energi terbarukan dapat menggantikan PLTD dan PLTU yang akan memberikan dampak penurunan biaya produksi tenaga listrik. Simulasi 100 persen energi terbarukan yang dilakukan di Pulau Timor dan Sumbawa dengan dominasi PLTS dan baterai, menunjukkan bahwa biaya pembangkitan dapat turun 3 hingga 21 persen, dengan keandalan sistem yang baik. Sayangnya, potensi ini masih jauh dari terealisasi.

Abraham mengatakan, alih-alih meningkat, bauran energi terbarukan dalam sistem on-grid justru menurun dalam lima tahun terakhir. Dari 13 persen pada 2020 menjadi hanya 11,5 persen pada 2024. Angka ini meleset dari target RUPTL 2021–2030 yang seharusnya 15 persen.

“Kami mengidentifikasi adanya kesenjangan lebar antara potensi energi terbarukan yang melimpah, perencanaan sistem, hingga realisasi di lapangan. Ini menunjukkan adanya tantangan yang terus-menerus dalam menerjemahkan ambisi pemerintah menjadi proyek nyata,” tambahnya.

Berdasarkan Transition Readiness Framework (TRF) atau indeks yang dikembangkan IESR sejak 2022 untuk mengukur kesiapan kondisi pendukung (enabling environment) transisi energi Indonesia, empat dari 11 faktor, yaitu kebijakan, kepemimpinan, dan investasi, masih dinilai rendah (low) dan tidak mengalami perubahan dari hasil 2024.

Bertolak belakang dengan investasi energi terbarukan yang tidak mencapai target tahun ini, subsidi energi fosil justru mengalami peningkatan, baik pada tahun ini maupun tahun depan, sehingga akumulasinya pada periode 2022–2026 mencapai Rp 1.023 triliun.

Sementara itu, partisipasi publik dan penerimaan komunitas terhadap transisi energi masih berada pada tingkat sedang, yang berarti kesadaran meningkat, tetapi belum berujung pada partisipasi yang bermakna.

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research