Forum Ilmiah Padang Bahas Ancaman Megathrust

2 hours ago 2
Forum Ilmiah membahas Megatrust berlangsung di Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Sabtu (27/09/2025). Foto : dok

Kampus—Di balik gemuruh ombak Samudra Hindia dan sunyi deru lempeng tektonik, terdapat ancaman besar yang seringkali kita abaikan yakni gempa dan tsunami megathrust. Ancaman itu menjadi topik utama dalam workshop “Megathrust Disaster Risk Assessment in Indonesia” yang berlangsung di Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Sabtu (27/09/2025). Forum ini bukan sekadar dialog ilmiah; ia berupaya merangkai benang kebijakan, riset, dan kesiapsiagaan publik agar tak terpisah.

Kegiatan ini adalah bagian dari rangkaian The 3rd International Conference on Disaster Mitigation and Management (ICDMM) 2025. Di aula Sekolah Pascasarjana Unand, para akademisi dan praktisi berkumpul, dengan harapan bahwa diskusi hari ini bisa bertransformasi menjadi tindakan nyata di wilayah-wilayah rawan.

Acara dibuka oleh Dekan Fakultas Teknik Unand, Prof Is Prima Nanda, yang secara tegas menyebut bahwa peran perguruan tinggi lebih dari sekadar riset di laboratorium. “Indonesia berada di garis depan potensi megathrust,” ujarnya. “Kampus harus menelurkan riset yang tidak hanya elitis, tapi bisa dipakai oleh pemerintah daerah dan masyarakat,’’ katanya.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Dia berharap forum ini menghasilkan rekomendasi teknis, mulai dari peta bahaya terkini hingga standar desain infrastruktur tahan gempa.

Ketua Panitia ICDMM 2025, Prof Fauzan, memperkuat nada tersebut. Menurutnya, workshop ini harus menjadi jembatan antara gagasan akademik dan kebijakan publik. “Kami membidik kerangka asesmen risiko yang seragam, agar tiap daerah tak bekerja sendiri-sendiri. Kami juga menyusun daftar tindak lanjut bersama BNPB, BMKG, BRIN, dan pemerintah daerah,” kata Fauzan.

Dari sisi lembaga kebencanaan nasional, muncul dua sudut pandang penting. BNPB melalui Luqmanul Hakim memperkenalkan JITUPASNA, sebuah metodologi untuk menghitung kerusakan, kerugian, dan kebutuhan pascabencana dengan satu alat terpadu — agar rencana pemulihan tetap selaras dengan RPJMN 2025–2029. Sementara itu, BMKG lewat Dr Pepen Supendi menegaskan bahwa Indonesia bertemu empat lempeng tektonik, dengan 13 zona megathrust aktif. Ia mengingatkan adanya seismic gap di Mentawai‑Siberut, yang kerap dianggap sebagai “zona tidur” yang bila terketuk dapat meledak dalam gempa besar.

Simulasi dari BRIN menambah densitas kekhawatiran. Dr Ing Widjo Kongko memaparkan peta tsunami pesisir Padang berdasarkan konsensus 2009. Dalam simulasi itu, gelombang tsunami dapat mencapai 6–8 meter — bahkan menyusup sejauh 1 kilometer ke daratan. Dengan waktu evakuasi efektif yang sangat singkat, hanya 10–15 menit, sistem peringatan dini menjadi nyawa dalam bentuk teknologi.

Namun, teknologi saja tak pernah cukup tanpa kesiapan manusia. Prof Febrin Anas Ismail (Unand) mengangkat aspek sosial dan kelembagaan—menunjukkan bahwa masyarakat di Mentawai dan Padang masih sangat rentan secara ekonomi, fisik, dan lingkungan. Ia mengusulkan solusi konkret: shelter mandiri yang dibangun berbasis masjid dan musholla. Pilihan ini dianggap lebih realistis karena dapat dibangun bertahap oleh masyarakat sendiri. “Dengan begitu, fungsi keagamaan dan sosial juga menguat bersama perlindungan,” ujarnya.

Pada skala lokal, BPBD Sumbar melalui Dr Era Sukma Munaf menegaskan bahwa mitigasi harus dijalin dalam jalinan kebijakan lintas sektor. Pemerintah provinsi kini tengah merancang sistem early warning tsunami yang tersambung ke pengeras suara masjid. Di sisi lain, pemetaan zona aman (safe zone), penerapan building code tahan gempa, serta rencana kontinjensi integratif menjadi agenda penting yang dipercepat.

Workshop ini mengingatkan satu hal sederhana tapi berat: ancaman megathrust bukan cerita mitos. Sejarah mencatat tsunami besar pada 1797, 1833, dan bencana di Mentawai 2010. Kini tugas kita bersama: menyambung peta, menyelaraskan kebijakan, dan membangun kesiapsiagaan yang tidak hanya retorika. Format hibrid yang diadopsi panitia memberi peluang lebih besar agar diskusi ini tak berhenti di ruang seminar, namun meluas ke pelosok negeri.

“Workshop ini membuka pintu kebijakan yang tegas, riset yang relevan, dan kesadaran kolektif bahwa menghadapi megathrust bukan soal siapa yang siap, melainkan siapa yang bisa mencegah”, tegas Fauzan.(*)

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research