Jakarta,CNBC Indonesia- Dunia dan Indonesia tengah mengejar penggunaan energi baru terbarukan (EBT). Namun, investasi di energi fosil juga tidak bisa ditinggalkan karena masih diperlukan.
Meskipun transisi menuju energi hijau terus digencarkan, minyak dan gas bumi (migas) masih memegang peran krusial dalam perekonomian nasional.
Chris Birdsall, Director of Energy & Economics ExxonMobil, menegaskan bahwa migas masih menjadi tulang punggung sistem energi global hingga 2050.
Berdasarkan data skenario IPCC PBB, pada 2023 minyak dan gas bumi menyumbang 56% dari total energi global, sementara pada 2050 diproyeksikan turun menjadi 38%, tetap lebih tinggi dibandingkan batu bara yang hanya tersisa 5%.
Foto: Exxonmobile
Energy mix dunia
"Tidak ada skenario yang 100% bergantung pada energi terbarukan, dan tidak ada skenario yang sepenuhnya menghilangkan minyak dan gas," ujar Chris dalam acara CNBC Indonesia Road to Outlook - Energy Edition with ExxonMobil bertajuk "Energy Demand and Supply Outlook Through 2050" di Jakarta, Selasa (18/2/2025).
Dia menambahkan pasokan minyak masih diperlukan untuk memenuhi permintaan masyarakat. Terlebih, pasokan baru hampir menghilang tanpa investasi yang berkelanjutan untuk mempertahankan produksi yang ada.
Turunnya produksi ladang minyak adalah faktor utama dibutuhkannya pasokan baru.
Foto: Exxon mobile
Supply and demand minyak
Chris Birdsall memperingatkan bahwa jika investasi di sektor ini dihentikan, pasokan migas global akan mengalami penurunan drastis hingga 15% per tahun.
Padahal, permintaan energi, termasuk fosil, masih sangat tinggi. Berdasarkan "ExxonMobil Energy Global Outlook: Our view to 2050", prmintaan energi dunia pada 2023 diperkirakan mencapai 600 kuadriliun British thermal unit (Btu). Permintaan energi pada 2023 tersebut terdiri dari bauran minyak dan gas bumi (migas) 55,5%, batu bara (25%), nuklir (5%), bioenergi (9%), dan energi terbarukan seperti air, angin, surya, dan panas bumi (geothermal) sebesar (5,5%).
Pada 2050, permintaan energi global diperkirakan tumbuh 15% menjadi sekitar 700 kuadriliun Btu, terdiri dari bauran minyak dan gas bumi turun menjadi 54%, batu bara menjadi 13%, nuklir menjadi 7%, bioenergi naik menjadi 11%, dan energi terbarukan seperti air, angin, tenaga matahari, dan panas bumi naik menjadi 15%.
Oleh karena itu, negara seperti Indonesia dan perusahaan migas global perlu terus berinvestasi di sektor hulu guna menjaga keseimbangan energi dan mendukung pertumbuhan ekonomi. Investasi terutama untuk sektor migas karena permintaannya masih akan tinggi. Permintaan minyak global mulai 2030 hingga 2050 diperkirakan akan relatif stabil di kisaran 100 juta barel per hari (bph).
"Kami perkirakan permintaan minyak dan gas bumi global tetap akan di atas 50% dari total bauran energi dunia pada 2050," ungkapnya .
Meskipun dunia bergerak ke energi bersih dan pengguna mobil listrik akan meningkat pada 2035, menurutnya permintaan minyak dunia di 2050 diperkirakan masih berada di kisaran 85 juta barel per hari.
"Permintaan minyak untuk kendaraan penumpang diperkirakan akan turun pada 2050. Tapi mayoritas permintaan minyak global pada saat itu akan digunakan untuk industri pengolahan, seperti manufaktur dan produksi petrokimia, serta transportasi pengangkutan logistik seperti perkapalan, truk, dan penerbangan," paparnya
Bagaimana dengan Indonesia?
Dalam skenario 2060, pemerintah Indonesia menargetkan bauran energi primer mencapai 70% energi baru dan terbarukan (EBT), dengan listrik yang dihasilkan terdiri dari 24% energi baru, 21% variable renewable energy (VRE), 29% storage renewable energy (SRE), dan 26% fosil dengan teknologi carbon capture storage (CCS). Untuk mewujudkan target tersebut, investasi dalam energi hijau harus terus ditingkatkan.
Meski demikian, pertumbuhan investasi di sektor hulu migas tetap harus dijaga. Chris Birdsall memperingatkan bahwa jika investasi di sektor ini dihentikan, pasokan migas global akan mengalami penurunan drastis hingga 15% per tahun. Oleh karena itu, negara seperti Indonesia dan perusahaan migas global perlu terus berinvestasi di sektor hulu guna menjaga keseimbangan energi dan mendukung pertumbuhan ekonomi.
Indonesia berada di persimpangan penting dalam kebijakan energinya. Dengan kombinasi peningkatan produksi migas dan percepatan transisi ke EBT, Indonesia dapat memastikan ketahanan energi yang berkelanjutan tanpa mengorbankan stabilitas ekonomi. Keseimbangan antara fosil dan non-fosil adalah kunci untuk menghadapi tantangan energi masa depan.
Sekretaris SKK Migas, Luky A. Yusgiantoro, mengungkapkan bahwa hampir 50% dari permintaan energi primer Indonesia masih bergantung pada sektor migas. Dengan kebutuhan minyak yang masih 38% bergantung pada impor, peningkatan produksi dalam negeri menjadi suatu keharusan.
"Alasan mengapa minyak dan gas hulu masih memegang peranan penting adalah karena hampir separuh dari permintaan energi primer masih berbasis migas," ujar Luky dalam acara CNBC Indonesia Road to Outlook - Energy Edition with ExxonMobil bertajuk "Energy Demand and Supply Outlook Through 2050" di Jakarta, Selasa (18/2/2025).
Sebagai catatan, Data Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia 2023 menunjukkan kebutuhan bahan bakar di Indonesia sekitar 1,527 juta barel per hari (bph).
Kebutuhan terbesar adalah untuk minyak mentah disusul Pertalite (Ron 90).
Konsumsi Gasoline RON 95, Gasoline RON 92, dan Gasoline RON 90 saja sudah mencapai 36.023.536 Kilo liter (KL). Bila dikonversi ke barel maka jumalnya menjadi 620.720 bph.
Pentingnya migas tidak hanya sebatas ketahanan energi, tetapi juga memberikan efek berganda bagi perekonomian nasional. Luky menyebutkan bahwa tambahan produksi 10.000 barel minyak per hari dapat menyumbang Rp 1 triliun bagi penerimaan negara. Saat ini, terdapat 120 cekungan migas potensial di Indonesia, dengan 60 di antaranya masih dapat dieksplorasi.
Dalam catatan SKK Migas, realisasi investasi hulu migas Indonesia anjlok Investasi terus turun bahkan sebelum Covid-19.
Investasi turun dari US$ 19,34 miliar pada 2013 menjadi US$ 13,7 miliar pada 2023. Investasi tersebut di antaranya untuk melakukan eksplorasi yakni sebesar US$ 1,88 miliar pada 2013 menjadi US$ 0,9 miliar pada 2023.
Data PricewaterhouseCoopers (PwC) menunjukkan eksplorasi sumur baru hanya mencapai 38 sumur pada 2023, jauh dari targetnya (57).
Merujuk data APBN 1982/1983, pengeboran baru dilakukan terhadap 179 sumur pada 1980.
Exxon adalah satu dari sejumlah investor asing yang sudah lama berperan besar dalam pengembangan sektor migas Tanah Air. ExxonMobil telah hadir lebih dari 125 tahun di Indonesia dan secara kumulatif kami telah menghasilkan lebih dari 650 juta barel minyak mentah.
Presiden ExxonMobil Indonesia, Carole Gall menegaskan ExxonMobil akan terus berkomitmen untuk mendukung ketahanan energi nasional serta berkontribusi pada pembangunan ekonomi dan sumber daya manusia di dalam negeri.
"Hal ini terlihat jelas dalam peran kami dalam memperkuat keamanan energi Indonesia, dengan seperempat dari produksi minyak nasional berasal dari fasilitas produksi kami di Banyu Urip, Cepu, Jawa Timur," ujarnya..
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)