Dari Santri Gudigen ke Santri Modern: Jejak Muhammadiyah dalam Pendidikan Islam Berkemajuan

4 hours ago 1

Oleh: Prof M Farid Wajdi, Ph.D, Direktur Pascasarjana UMS

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Terlepas dari fenomena kritik yang muncul saat ini, dunia pesantren memiliki posisi strategis dari bagian komponen bangsa. Kita ingat adanya sisi perjalanan panjang kaum santri yang dulu pernah dihadap-hadapkan dengan kaum priyayi dan abangan.

Namun posisi vis-a-vis telah dapat disingkirkan menjadi komponen utuh dalam dinamika kehidupan bangsa ini.

Setiap kali hari Santri diperingati, kita dapat membayangkan perjalanan : dulu dari pondok reyot berdinding bambu hingga sekarang gedung modern, dari kehidupan seadanya hingga menjadi motor kemajuan umat.

Stigma yang dulu melekat bahwa santri dulu sering diejek “santri gudigen” — istilah yang menggambarkan kondisi mereka yang waktu itu hidup dalam keterbatasan, makan seadanya, dan sering terkena penyakit kulit akibat sanitasi yang buruk.

Julukan itu lahir bukan semata karena keadaan fisik, melainkan karena kelas sosial santri yang kala itu berasal dari rakyat kecil, jauh dari kemewahan sekolah kolonial. Namun, di balik tubuh yang gatal dan pakaian lusuh, tersimpan nur cahaya semangat belajar yang tak pernah padam.

“Gudigen” menjadi lambang ketekunan dan keikhlasan dalam menuntut ilmu. Dari santri yang tumbuh di pondok pesantren itulah muncul generasi pejuang dan ulama besar yang menjaga moral bangsa.

Pesantren Tradisional dan Lahirnya Pondok Modern

Dalam perjalanan sejarahnya, pesantren tradisional dulu menjadi pilar utama pendidikan Islam sejak berabad-abad. Fokusnya pada pendalaman kitab kuning dan ilmu agama, dengan sistem sorogan dan bandongan di bawah bimbingan kiai.

Sistem ini berhasil melahirkan ulama yang alim, teguh, dan rendah hati, namun belum sepenuhnya terorganisasi secara modern dan juga kurang mampu menyongsong dinamika kehidupan modern.

Memasuki abad ke-20, muncul kesadaran baru. Dunia berubah cepat, ilmu pengetahuan berkembang, dan umat Islam dituntut menyesuaikan diri tanpa kehilangan ruh keagamaannya.

Dari sinilah lahir Pondok Modern Darussalam Gontor (1926) yang memperkenalkan sistem pendidikan terstruktur, disiplin, penggunaan bahasa Arab dan Inggris, serta pembinaan karakter kepemimpinan.

Istilah “modern” tidak dimaknai sebagai kebarat-baratan, melainkan pembaruan dalam metode dan manajemen pendidikan.

Santri modern dididik untuk bersih, teratur, mandiri, dan berwawasan luas. Model Pondok Gontor bisa dikatakan sebagai pionir kehidupan pesantren untuk melahirkan santri modern yang kelak banyak mengisi posisi kepemimpinan berbagai kelembagaan Islam modern.

Muhammadiyah dan Sekolah Modern Islam

Beberapa tahun sebelum Gontor berdiri, KH Ahmad Dahlan (1912) memulai gerakan pembaruan serupa di Yogyakarta melalui Muhammadiyah.

Ia melihat ketimpangan besar antara pesantren dan sekolah kolonial: pesantren kuat dalam moral tetapi tertinggal dalam ilmu umum; sedangkan sekolah Barat maju secara intelektual, tetapi miskin nilai agama.

Dimulai pada 1918, didirikanlah madrasatul-Mu'allimiinal-Muhammadiyyati bi-Yugyakarta yang merupakan sekolah kader di bawah Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang didirikan langsung oleh KH Ahmad Dahlan.

Dari kegelisahan itu lahir sekolah model Muhammadiyah, yakni sekolah Islam modern yang memadukan keunggulan dua dunia — keagamaan dan keilmuan. Ciri khasnya jelas:

-Sistem klasikal dan kurikulum formal,

-Perpaduan ilmu agama dan umum,

-Disiplin, kebersihan, dan manajemen modern,

-Guru sebagai pendidik akhlak dan pemikir rasional.

Dengan konsep ini, Muhammadiyah menciptakan jembatan emas antara pesantren dan sekolah modern: pondok tanpa asrama yang berjiwa dakwah dan keilmuan. Sejarah mencatat pada 2020 Muhammadiyah telah memiliki 364 pesantren di seluruh Indonesia.

Lahirnya Pondok Pesantren Muhammadiyah dan MBS

Seiring perjalanan waktu, kebutuhan umat akan pendidikan yang menyeluruh — antara ilmu, iman, dan kehidupan sosial — semakin besar. Maka Muhammadiyah kemudian mengembangkan model pondok pesantren Muhammadiyah yang kini dikenal luas sebagai Muhammadiyah Boarding School (MBS). Dalam nomenklatur-nya, MBS terbagi menjadi dua bentuk.

Pertama, kesatuan lembaga pendidikan mulai dari SMP, SMA dan pesantren. Kedua MBS dalam bentuk program yaitu sekolah atau madrasah yang menambahkan program unggulannya semacam program pesantren. Tapi tidak mengajukan/mendaftarkan diri sebagai pesantren secara resmi.

Muhammadiyah Boarding School menggabungkan tiga kekuatan:

1.Sistem asrama khas pesantren, yang menanamkan kemandirian dan pembinaan karakter.

2.Sistem pendidikan formal modern, dengan kurikulum nasional dan internasional.

3.Nilai-nilai tajdid Muhammadiyah, yang menekankan kemajuan ilmu, kebersihan, kedisiplinan, dan tanggung jawab sosial.

Melalui MBS, Muhammadiyah melahirkan generasi santri baru — santri modern yang berpikir ilmiah dan berjiwa dakwah. Mereka belajar Alquran dan hadits, tapi juga sains, teknologi, bahasa global, dan kepemimpinan.

MBS hadir di berbagai daerah, dari MBS Prambanan, MBS Klaten, MBS Yogyakarta, hingga MBS Gorontalo dan Lombok — menjadi wajah baru pondok Muhammadiyah yang berkelas nasional bahkan internasional.

MBS membuktikan, Muhammadiyah tidak hanya mampu memodernisasi sekolah, juga menghidupkan kembali tradisi pesantren dalam semangat berkemajuan. Jika dulu KH Ahmad Dahlan membangun “sekolah modern bercita rasa pesantren”, kini MBS menjadi “pesantren bercita rasa modern.”

Peran Strategis Muhammadiyah dalam Pendidikan Islam

Perjalanan panjang Muhammadiyah dalam dunia pendidikan membentuk wajah baru Islam Indonesia. Pertama, menjadi pelopor modernisasi pendidikan Islam, jauh sebelum negara merdeka.

Kedua, memberi akses pendidikan bagi rakyat kecil tanpa memisahkan antara ilmu agama dan ilmu dunia. Ketiga, mencetak kader pemimpin dan intelektual Islam, dari ruang kelas sekolah Muhammadiyah hingga asrama MBS. Dan keempat, menjadi jembatan harmonis antara tradisi keislaman dan semangat kemajuan zaman.

Santri Berkemajuan: Warisan Tiga Dunia

Kini, santri tak lagi identik dengan kemiskinan atau penyakit kulit. Santri masa kini adalah pelajar, peneliti, pemimpin, dan penggerak masyarakat. Ia lahir dari tiga dunia pendidikan: pesantren salaf yang menanamkan akhlak, pondok modern yang membentuk disiplin, dan sekolah Muhammadiyah yang melatih rasionalitas.

Ketiganya melahirkan generasi santri berkemajuan — yang berpikir terbuka, bekerja keras, dan berkomitmen pada dakwah pencerahan. Santri modern tidak lagi sekadar mengaji kitab, tetapi juga menulis jurnal, membangun teknologi, dan mengabdi pada kemanusiaan.

Penutup

Dari “santri klas rendah gudigen” lahir santri tangguh. Dari pondok bambu lahir sekolah dan asrama modern. Dari Muhammadiyah lahir generasi Islam berkemajuan yang memadukan iman, ilmu, dan amal. Hari Santri bukan sekadar peringatan masa lalu, tetapi refleksi arah masa depan.

Karena masa depan Indonesia sangat ditentukan oleh sejauh mana dunia pendidikan Islam — pesantren, pondok modern, dan Muhammadiyah Boarding School — mampu terus melahirkan insan berilmu dan berakhlak yang siap memimpin peradaban.

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research