Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia merupakan pemilik cadangan nikel terbesar di dunia. Namun sayangnya, cadangan yang besar saja tidak cukup untuk membuat Indonesia menjadi "raja" baterai dunia.
Adapun negara yang kini bisa dijuluki sebagai "raja" baterai dunia yaitu China. Padahal, cadangan nikel China pada 2024 tercatat "hanya" mencapai 4,4 juta ton logam nikel, berdasarkan data US Geological Survey (USGS) Januari 2025. China ternyata mampu memproduksi baterai Li-ion terbesar di dunia.
Data dari Arthur D. Little, Mercator Institute for China Studies menunjukkan pemasok baterai Li-ion EV didominasi oleh China (53%), Korea (16%), Jepang (11%), dan negara lainnya (20%). Data China Automotive Battery Innovation Alliance (CABIA) menunjukkan pencapaian yang lebih besar.
Menurut CABIA, instalasi baterai global mencapai 785,6 Gigawatt hours (GWh) atau meningkat 26,4% pada 2024. China menyumbang porsi terbesar hampir 70%. Untuk tahun penuh 2024, kapasitas terpasang baterai di China mencapai 548,4 GWh, meningkat 41,5% dibandingkan tahun sebelumnya.
Data perusahaan riset pasar asal Korea Selatan, SNE Research, menunjukkan pada periode Januari-Desember 2024, penggunaan baterai kendaraan listrik (EV) global mencapai 894,4 GWh. Jumlah ini meningkat 27,2% dibandingkan 2023.
China terus menduduki peringkat pertama di dunia dengan pangsa pasar 37,9% pada 2024 dan tetap menjadi satu-satunya pemasok baterai di dunia dengan pangsa pasar lebih dari 30%. Angka ini juga lebih tinggi dibandingkan dengan pangsa pasar 36,6% pada 2023.
Sementara Indonesia tercatat menguasai 42% cadangan nikel dunia. Dan dari sisi produksi, Indonesia bahkan berkontribusi pada 50% produksi nikel dunia. Namun, kapasitas produksi baterai untuk mobil listrik di Indonesia sekitar 10 GWh.
Hal ini dibeberkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui akun resmi Instagramnya @kesdm, Selasa (11/2/2025).
"Nikel, peringkat 1 dunia untuk jumlah cadangan sekaligus jumlah produksi dunia," tulis akun resmi Instagram Kementerian ESDM, Selasa (11/2/2025).
Data ini pun juga tercatat di Amerika Serikat. Berdasarkan data USGS per Januari 2025, pada 2024 cadangan nikel Indonesia memang merupakan terbesar di dunia, yakni mencapai 55 juta ton logam nikel. Adapun posisi ke-2 cadangan nikel terbesar dunia diduduki oleh Australia dengan jumlah 24 juta ton logam nikel.
Tidak hanya soal cadangan nikel yang terbesar di dunia, Indonesia merupakan negara dengan produksi tambang dengan kandungan logam nikel terbesar di dunia yakni sebesar 2,03 juta ton pada 2023 dan diestimasikan naik menjadi 2,2 juta ton logam nikel pada 2024.
Estimasi tersebut cukup menarik diperhatikan karena justru total produksi nikel di dunia diperkirakan mengalami penurunan sebesar 0,05 juta ton dari 3,75 juta ton menjadi 3,7 juta ton.
Produksi logam nikel di Indonesia terus mengalami kenaikan sejak 2020 yang pada saat itu hanya sebesar 0,77 juta ton dan dalam tiga tahun menjadi 2,03 juta ton (2023) menjadi atau naik sebesar 163%.
China, Raja Produksi Baterai Dunia
Kendati Indonesia menjadi negara dengan produksi nikel terbesar di dunia, namun China menjadi negara dengan predikat produsen baterai Li-ion terbesar di dunia.
China yang memiliki cadangan alami yang rendah berusaha untuk membeli tambang di negara-negara dan langsung mengekspornya ke China.
Sebagai contoh, Contemporary Amperex Technology Co. (CATL) dan Tianqi Lithium adalah di antara pembeli terbesar tambang litium dan mengelola sekitar dua pertiga pasokan litium dunia.
Selain itu, Tsingshan Holding Group dari China mengelola konsorsium nikel terbesar di dunia yang berlokasi di Indonesia. Akuisisi sumber daya ini memberi perusahaan-perusahaan China kendali penuh atas rantai pasokan global.
Lebih lanjut, perusahaan barat juga telah melakukan investasi besar dalam produksi baterai di China, baik itu Tesla Gigafactory di Shanghai atau saham Volkswagen di produsen baterai Guoxuan High-Tech Co. dan JAC Motors. Melalui kebijakan dan insentif yang menarik, pemerintah China telah mendapatkan perhatian dan minat yang tepat dari para pemain global.
Data dari Arthur D. Little, Mercator Institute for China Studies menunjukkan pemasok baterai Li-ion EV didominasi oleh China (53%), Korea (16%), Jepang (11%), dan negara lainnya (20%).
Foto: Leading global suppliers of Li-ion EV batteries
Sumber: Arthur D. Little, Mercator Institute for China Studies
Saat ini, China menjadi rumah bagi enam dari sepuluh produsen baterai terbesar di dunia. Dominasi China dalam industri baterai didorong oleh integrasi vertikal di seluruh rantai pasokan kendaraan listrik (EV), mulai dari penambangan logam hingga produksi kendaraan listrik.
Ke depan, perusahaan-perusahaan di China diperkirakan akan menguasai hampir 70% kapasitas baterai global pada 2030, dengan kapasitas produksi lebih dari 6.200 Giga Watt-jam (GWh). Raksasa China, CATL sendiri diperkirakan akan memproduksi lebih banyak daripada gabungan produksi Kanada, Prancis, Hongaria, Jerman, dan Inggris.
Tingginya produksi tersebut tampak disambut baik dari sisi permintaan global.
Diketahui bahwa baterai Li-ion saat ini banyak digunakan sebagai sumber penyimpanan energi di seluruh dunia. Baterai ini digunakan dalam perangkat elektronik portabel, sistem penyimpanan energi stasioner, dan kendaraan listrik (EVs).
Menurut data penggunaan, permintaan global untuk baterai Li-ion mencapai sekitar 700 GWh pada 2022 dan diproyeksikan akan tumbuh sebesar 27% per tahun, mencapai 4.700 GWh pada 2030. China memiliki permintaan tertinggi dibandingkan dengan negara-negara lain.
Selain itu, jika dilihat berdasarkan aplikasinya, terlihat bahwa lebih dari 80% baterai Li-ion digunakan untuk kendaraan listrik (mobilitas). Hal ini menunjukkan bahwa di masa depan, sebagian besar baterai yang mencapai akhir masa pakainya akan berasal dari penggunaan di sektor transportasi.
Foto: Global Li-ion battery cell demand
Sumber McKinsey Battery Insights Demand Model
Bongkar Strategi China Monopoli Baterai EV
Dilansir dari Organisation for Research on China and Asia (ORCA), sejak pertengahan 1990-an hingga kini, China memiliki tiga fase perkembangan industri baterai kendaraan energi baru (NEVB).
Sebelum 2009, fokus utamanya adalah mengembangkan kemampuan teknologi domestik melalui penelitian dan investasi yang ditargetkan, seperti yang terlihat dalam Rencana Lima Tahun ke-10 dan ke-11 serta proyek nasional berteknologi tinggi 863, termasuk dana publik yang diinvestasikan untuk penelitian dan pengembangan.
Sejak 2009 hingga 2014, terjadi pergeseran menuju promosi sistematis kendaraan energi baru (NEV) dan eksperimen kebijakan khusus industri. Program Industri Strategis (SEI) baru muncul pada 2009 menandai pergeseran kebijakan tingkat tinggi menuju pengembangan pasar untuk industri baru, beralih dari kegiatan sains dan teknologi yang didanai negara.
Kemudian, strategi Made in China 2025 (MIC 25) dan Battery Whitelist yang diperkenalkan pada 2015 oleh pemerintah China, di mana subsidi hanya diberikan kepada produsen baterai domestik, menjadi titik balik bagi industri baterai di China. Fokus baru yang berpusat pada subsidi ini mendorong penyesuaian kebijakan, yang memperkenalkan dana baru untuk pertambangan, eksplorasi sumber daya, dan mesin pengolahan.
Kendati pasokan litium mentah melimpah secara global, China berhasil mengamankan monopoli di pasar litium. Alasannya terletak pada kontrak off-take, yang memungkinkan China memanfaatkan dinamika ekonomi pabrik pengolahan litium.
Pabrik pengolahan yang memiliki skala jauh lebih besar dibandingkan tambang individu membutuhkan kontrak off-take antara tambang dan pabrik untuk menjaga pasokan yang stabil.
Hal ini menciptakan ketergantungan timbal balik, di mana pemilik pabrik pengolahan sering kali menyediakan modal untuk pengembangan tambang. Sebagian besar pabrik pengolahan ini dimiliki oleh perusahaan China, mendorong integrasi vertikal karena mereka memiliki saham signifikan di berbagai tambang.
China secara strategis mengatasi kesenjangan pendanaan pengembangan infrastruktur di negara-negara berkembang dan pemerintah yang kekurangan dana melalui strategi "going out," dengan memanfaatkan investasi yang terkait dengan meningkatnya permintaan global akan litium.
Foto: Smelter nikel HPAL PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara. (Dok. PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel)
Smelter nikel HPAL PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara. (Dok. PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel)
Integrasi rantai pasokan yang komprehensif ini memungkinkan China memperoleh litium dari negara pemasok, memimpin kemajuan teknologi baterai, dan memposisikan dirinya sebagai kekuatan dominan di pasar hulu dan hilir untuk kendaraan listrik (EV). Langkah strategis ini menjadi jelas ketika Afghanistan, yang memiliki cadangan litium potensial setara dengan Bolivia, mengalami lonjakan signifikan investasi China setelah penemuan deposit mineral bernilai hampir US$1 triliun pada 2010.
Investasi China di negara-negara kaya litium seperti "Segitiga Litium" (Argentina, Chili, dan Bolivia) akan memungkinkan integrasi vertikal lebih lanjut dalam rantai pasokan baterai lithium-ion.
Pemerintah China secara agresif mengejar akuisisi material yang krusial untuk transisi energi hijau global. Tren ini didukung oleh pembentukan rantai pasokan domestik yang kuat, yang memberi China dorongan untuk memperluas pengaruhnya atas material kunci dan industri terkait. Sementara negara lain mulai menyadari pentingnya mineral seperti litium, perusahaan China telah menjadi yang paling proaktif dalam mengejar akuisisi, terutama di kawasan Afrika dan Amerika Latin.
Skala keterlibatan China di pasar litium terlihat dari perannya yang dominan dalam kesepakatan merger dan akuisisi (M&A) besar sejak 2018.
Perusahaan China menjadi pendorong utama di balik semua transaksi M&A litium signifikan yang bernilai lebih dari US$100 juta, mengakuisisi sebagian besar tambang litium senilai sekitar US$7,9 miliar. Hal ini semakin membuat banyak negara bergantung pada China untuk investasi dan pendanaan, yang menghadirkan tantangan bagi negara lain yang ingin bersaing di pasar litium global.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)