Jakarta, CNN Indonesia --
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengatakan perjanjian Helsinki tidak bisa dijadikan rujukan untuk menentukan kepemilikan empat pulau yang kini menjadi sengketa antara Aceh dan Sumatera Utara.
"Enggak, enggak masuk. Undang-undang 1956 juga enggak, kami sudah pelajari," ujar Yusril di wilayah Sawangan, Depok, Minggu (15/6).
Yusril menjelaskan Undang-undang tersebut tidak menentukan status empat pulau milik Aceh yang baru saja ditetapkan masuk Sumatera Utara oleh Kementerian Dalam Negeri. Empat pulau tersebut adalah Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Ketek dan Pulau Mangkir Gadang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Undang-undang pembentukan Provinsi Aceh Tahun 1956 itu tidak menyebutkan status empat pulau itu ya, bahwa Provinsi Aceh terdiri atas ini, ini, ini ya, tapi mengenai tapak batas wilayah itu belum," terang Yusril.
Menurut dia, tapak batas wilayah muncul setelah zaman reformasi dengan adanya pemekaran provinsi, kabupaten dan kota.
"Maka banyaklah timbul permasalahan itu, tapi satu demi satu dapat diselesaikan ya. Saya juga beberapa kali menengani penentuan batas wilayah dan juga mengenai sengketa pulau sekitar batas daratan bisa kita selesaikan secara yang baik," ungkap Yusril.
Dalam waktu dekat, Yusril mengaku akan berbicara dengan Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) dan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution.
Pernyataan Yusril sekaligus membantah penjelasan mantan wakil presiden Jusuf Kalla pekan lalu.
JK dalam konferensi pers di kediamannya, Jakarta, Jumat pekan lalu meyinggung poin-poin perjanjian Helsinki terkait sengketa 4 pulau.
Perjanjian Helsinki pada 2005 silam jadi batu pijakan perdamaian antara pemerintah RI dan kelompok separatis Gerakan Aceh Merdeka. Menurut JK, perbatasan wilayah Aceh sebenarnya telah diatur dalam perjanjian itu.
"Mengenai perbatasan itu, ada di Pasal 1.1.4, mungkin bab 1, ayat 1, titik 4, yang berbunyi perbatasan Aceh, merujuk pada perbatasan 1 Juli tahun 1956. Jadi, pembicaraan atau kesepakatan Helsinki itu merujuk ke situ," ujarnya dalam konferensi pers di kediamannya, Jumat (13/6).
Dokumen lain menurut JK adalah UU Nomor 24 Tahun 1956 yang jadi rujukan Perjanjian Helsinki. UU itu mengatur pembentukan daerah otonom Provinsi Aceh dan Provinsi Sumut yang diteken Presiden Sukarno.
Dia menjelaskan dari hasil perundingan dan dokumen yang ada, maka keempat pulau yang jadi rebutan ini sebenarnya masuk wilayah Aceh.
"Jadi secara formal dan historis empat pulau itu masuk wilayah Singkil, Provinsi Aceh," kata JK.
Belum ada keputusan
Yusril menegaskan sampai saat ini pemerintah pusat (Menteri Dalam Negeri) belum mengambil keputusan apa pun mengenai status empat pulau apakah masuk ke dalam wilayah Kabupaten Singkil Aceh atau Kabupaten Tapanuli Tengah Sumatera Utara.
Yusril mengatakan penentuan batas wilayah kabupaten dan kota di daerah adalah kewenangan Menteri Dalam Negeri yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri). Hingga kini Permendagri itu belum ada.
Atas alasan itu, Yusril meminta para politisi, akademisi, para ulama, aktivis dan tokoh masyarakat agar menyikapi permasalahan dengan tenang dan penuh kesabaran.
"Pemerintah Pusat sampai hari ini belum mengambil keputusan final mengenai status empat pulau itu masuk ke wilayah Provinsi Aceh atau Sumatera Utara. Yang ada barulah pemberian kode pulau-pulau yang memang tiap tahun dilakukan, dan pengkodean empat pulau yang terakhir memang didasarkan atas usulan Pemerintah Sumut. Pemberian kode pulau-pulau itulah yang dituangkan dalam Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025," terang Yusril.
"Namun, pemberian kode pulau melalui Kepmendagri belumlah berarti keputusan yang menentukan pulau-pulau itu masuk ke wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah Sumatera Utara, karena penentuan batas wilayah daerah harus dituangkan dalam bentuk Permendagrinya," lanjut dia.
Dikarenakan batas wilayah antara Provinsi Aceh dengan Provinsi Sumut dan batas antara Kabupaten Aceh Singkil dengan Kabupaten Tapanuli Tengah khususnya mengenai empat pulau belum selesai dan belum disepakati, kata Yusril, maka itu menjadi tugas Gubernur Aceh dan Gubernur Sumut untuk menyelesaikan dan menyepakatinya.
Atas dasar kesepakatan itu Menteri Dalam Negeri nantinya akan menerbitkan Permendagri mengenai batas darat dan laut antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara.
"Memang secara geografis letak pulau-pulau tersebut lebih dekat dengan Kabupaten Tapanuli Tengah dibandingkan dengan Kabupaten Singkil. Akan tetapi, faktor kedekatan geografis bukan satu-satunya ukuran untuk menentukan pulau tersebut masuk ke wilayah kabupaten yang paling dekat," ucap Yusril.
Dalam hal ini dia memberi contoh Pulau Natuna, Pulau Miangas dan Pulau Pasir.
Secara geografis, Pulau Natuna lebih dekat dengan Sabah Malaysia daripada Kalimantan Barat atau Kepulauan Riau. Namun, sejak zaman kesultanan Melayu dan penjajahan Belanda, Natuna adalah wilayah Hindia Belanda, bukan wilayah British Malaya.
Sebaliknya Pulau Miangas lebih dekat ke wilayah selatan Pulau Mindanao dibanding daratan Sulawesi Utara. Pulau Miangas pernah menjadi sengketa antara Belanda dengan Spanyol dan kemudian dengan Amerika Serikat.
Akhirnya, Arbitrase Washington memutuskan Pulau Miangas masuk wilayah Hindia Belanda pada tahun 1906 dan kini otomatis bagian dari wilayah Indonesia.
Kata Yusril, orang Filipina masih banyak yang menyangka Pulau Miangas adalah bagian dari negara mereka.
Sedangkan Pulau Pasir atau Asmor Reef di selatan NTT, secara geografis lebih dekat dengan Pulau Timor daripada Australia.
Akan tetapi, sejak tahun 1878, Pulau Pasir dimasukkan Inggris ke dalam wilayah Australia tanpa protes apa pun dari pihak Belanda.
Maka, sampai sekarang Pulau Pasir masuk wilayah Australia, bukan Indonesia. Meskipun demikian, masih banyak orang di NTT menyangka Pulau Pasir masuk ke wilayah Indonesia.
(ryn/wis)