Jakarta, CNN Indonesia --
Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menyatakan mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar tidak bisa membuktikan asal-usul uang Rp915 miliar dan emas 51 kilogram yang ditemukan Kejaksaan Agung di rumah kediamannya.
Atas dasar itu, hakim dalam putusan yang dibacakan hari ini memerintahkan aset tersebut dirampas untuk negara.
"Bahwa terhadap aset yang disita dari terdakwa menurut majelis telah terbukti dari hasil tindak pidana korupsi karena, satu, tidak ada sumber penghasilan sah yang dapat menjelaskan kepemilikan aset berupa uang tunai dalam berbagai mata uang yang setara dengan Rp915 miliar dan emas logam mulia sebanyak 51 kg bagi seorang PNS," ujar ketua majelis hakim Rosihan Juhriah Rangkuti, Rabu (18/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Terdakwa [Zarof Ricar] gagal dalam membuktikan bahwa aset tersebut diperoleh secara legal melalui warisan, hibah, usaha atau sumber penghasilan sah lainnya," sambungnya.
Hakim menjelaskan terdapat catatan yang menunjukkan hubungan aset Zarof dengan pengurusan perkara tertentu. Hakim menyakini uang Rp915 miliar dan emas 51 kg itu diperoleh dari hasil gratifikasi penanganan perkara.
"Ditemukan catatan-catatan yang menunjukkan hubungan antara aset dengan nomor-nomor perkara tertentu, mengindikasikan bahwa aset tersebut diperoleh dari gratifikasi yang berhubungan dengan penanganan perkara," kata hakim.
Lebih lanjut, hakim menambahkan harta kekayaan Zarof yang sah hanya Rp8.819.909.790 berdasarkan laporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak tahun 2023.
Hakim mengatakan perampasan aset perlu diterapkan supaya memberikan efek jera.
"Bahwa perampasan aset juga bertujuan untuk memberikan efek jera atau efek yang optimal, di mana jika pelaku korupsi diizinkan untuk tetap menikmati hasil kejahatan setelah menjalani pidana penjara, maka hal tersebut tidak memberikan efek pencegahan yang efektif," ungkap hakim.
"Menimbang berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, majelis hakim menetapkan status barang bukti sesuai tuntutan Penuntut Umum di mana aset hasil gratifikasi dirampas untuk negara, dokumen dan barang bukti elektronik yang relevan digunakan dalam perkara lain, sedangkan dokumen pribadi dan administrasi aktif tetap terlampir dalam berkas perkara serta rekening terdakwa tetap diblokir untuk pembuktian TPPU," pungkas hakim.
Zarof dihukum dengan pidana 16 tahun penjara dan denda sebesar Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Putusan tersebut lebih ringan daripada tuntutan jaksa yang ingin Zarof dihukum dengan pidana 20 tahun penjara dan denda sebesar Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Baik Zarof maupun jaksa menyatakan pikir-pikir atas putusan tersebut, membuat perkara belum memperoleh kekuatan hukum mengikat atau inkrah.
Zarof dinilai telah terbukti melakukan pemufakatan jahat bersama pengacara Gregorius Ronald Tannur, Lisa Rachmat, untuk memberi atau menjanjikan sesuatu berupa uang sejumlah Rp5 miliar kepada ketua majelis kasasi MA hakim agung Soesilo.
Upaya tersebut dengan maksud untuk mempengaruhi hakim yang mengadili perkara kasasi untuk menjatuhkan vonis bebas terhadap Ronald Tannur sebagaimana putusan PN Surabaya Nomor: 454/Pid.B/2024/PN.Sby tanggal 24 Juli 2024.
Perkara Ronald Tannur di tingkat kasasi diperiksa dan diadili oleh ketua majelis Soesilo dengan hakim anggota Sutarjo dan Ainal Mardhiah. Pada Selasa, 22 Oktober 2024, MA membatalkan vonis bebas Ronald Tannur dan menghukum yang bersangkutan dengan pidana lima tahun penjara.
Namun, putusan perkara nomor: 1466/K/Pid/2024 diwarnai perbedaan pendapat atau dissenting opinion oleh ketua majelis Soesilo. Menurut dia, dari fakta di persidangan, tak ada niat jahat atau mens rea dari Ronald Tannur untuk membunuh Dini Sera Afriyanti.
Zarof juga dinilai terbukti menerima gratifikasi kurang lebih sebesar Rp915 miliar dan emas logam mulia sebanyak kurang lebih 51 kilogram dari para pihak yang memiliki perkara di lingkungan pengadilan baik di tingkat pertama, banding, kasasi maupun peninjauan kembali.
(ryn/dal)