Surplus Perdagangan Naik tapi Rupiah Tertekan, Risiko Global Masih Mengintai

4 hours ago 1

Di tengah kenaikan surplus perdagangan Indonesia secara tahunan, nilai tukar rupiah justru mengalami tekanan. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah kenaikan surplus perdagangan Indonesia secara tahunan, nilai tukar rupiah justru mengalami tekanan. Chief Economist PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI), Leo Putera Rinaldy, mengungkap risiko nilai tukar menjadi salah satu tantangan utama yang perlu diwaspadai ke depan, terutama di tengah kondisi global yang masih diliputi ketidakpastian.

“Risiko yang perlu kita pantau ke depannya adalah currency risk, karena kondisi global masih memiliki volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity yang tinggi,” ujar Leo saat temu media bertajuk “BNI Economic Perspective: Navigating Shifts, Building Resilience”, di Jakarta, Jumat (24/10/2025) lalu.

Ia menjelaskan tekanan terhadap rupiah bukan berasal dari neraca transaksi berjalan, yang justru membaik, melainkan dari sisi neraca keuangan. Menurut Leo, financial account balance yang sebelumnya surplus kini berbalik menjadi defisit, dipicu oleh arus keluar dana asing dari pasar portofolio.

Net foreign outflow di portofolio itu sudah mencapai 9 miliar dolar AS. Jadi meskipun surplus perdagangan naik, tekanan terhadap rupiah tetap terjadi karena sisi finansialnya defisit,” jelasnya.

Selain itu, aliran investasi langsung asing (foreign direct investment / FDI) juga belum menunjukkan peningkatan signifikan. Leo menyoroti situasi global saat ini sangat dipengaruhi oleh faktor geopolitik, termasuk pemilu serentak di lebih dari 60 negara sepanjang 2024, yang menciptakan masa transisi politik di berbagai belahan dunia.

“Wajar saja kalau geopolitical risk itu tiba-tiba naik. Tapi biasanya masa transisi ini berlangsung sekitar satu tahun, jadi kita melihatnya mungkin akan ada equilibrium baru pada tahun depan,” katanya.

Leo menekankan meskipun tekanan terhadap rupiah bersifat eksternal, dampaknya terhadap stabilitas ekonomi domestik tetap perlu dimitigasi. Ia menyarankan agar pelaku pasar dan pembuat kebijakan lebih fokus memantau dinamika nilai tukar sebagai indikator utama dalam menghadapi ketidakpastian global.

sumber : Antara

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research