Sejak Dulu Yunani-Romawi Sebut Sumatera Pulau Emas, Kini Kena Bencana

2 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Pulau Sumatra kini diliputi duka. Sejak akhir November, banjir beruntun menghantam Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Ratusan warga meninggal, ribuan lainnya kehilangan rumah dan hidup dalam penderitaan. Menurut Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya, bencana ini tidak semata akibat cuaca ekstrem, tetapi juga kerusakan lingkungan.

"Jadi penyebab bencana ini jadi perhatian dan selain faktor cuaca yang ekstrem tentunya, ada faktor kerusakan lingkungan yang memperparah bencana," kata dia dalam konferensi pers di Halim Perdanakusuma, Rabu (3/12/2025).

Ironi pun muncul. Selama ribuan tahun Sumatra dipuja sebagai pulau anugerah atau kaya sumber daya, bahkan dijuluki pulau emas. Namun kini, anugerah itu berubah menjadi petaka akibat kerusakan lingkungan yang terus ditimbulkan oleh eksploitasi manusia.

Sejak era kuno, berbagai kebudayaan India, Yunani-Romawi, hingga China sudah mencatat legenda tentang pulau emas di seberang lautan. Ramayana menyebut Suvarnabhumi, teks Yunani-Romawi abad 1 M menulis pulau emas berada di garis khatulistiwa, sementara naskah Dinasti Ming menyebut San Fo Tjai sebagai negeri kaya emas. Semua menggambarkan tanah yang setiap lapisnya mengandung logam mulia.

Legenda itu kemudian terbukti pada era pelayaran abad ke-15, ketika para penjelajah menyadari bahwa pulau emas yang diceritakan dunia selama ribuan tahun ternyata adalah Sumatra. Sejarawan O.W. Wolters dalam Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya Abad III-VII (2017) menilai catatan lintas peradaban ini sebagai bukti betapa masyhurnya Asia Tenggara sebagai sumber emas dunia.

Catatan kolonial turut menguatkan reputasi itu. William Marsden menulis dalam The History of Sumatra (1811) bahwa pada abad ke-19, Padang menerima sekitar 283 kilogram emas dari 1.200 tambang di pedalaman. Denys Lombard dalam Kerajaan Aceh (1986) mencatat Aceh memiliki 300 tambang emas 24 karat yang seolah tak pernah habis. Beberapa laporan Eropa bahkan menggambarkan tanah Aceh bisa mengeluarkan gumpalan emas.

Kekayaan mineral ini membuat pemerintah kolonial Hindia Belanda menseriusi penambangan emas memetakan dua titik tambang besar, yakni Batang Gadis di Sumatera Barat dan Lebong di Bengkulu. Kedua wilayah tersebut, selain dikenal sebagai penghasil lada dan rempah, juga memiliki tambang emas tertua era kolonial. 

Keberhasilan eksploitasi membuat pemerintah kolonial makin intens membuka tambang disertai pembukaan hutan secara besar-besaran. Apalagi struktur geologi Bukit Barisan dengan batuan vulkanik seperti andesit, lava, dan tufa menyimpan endapan emas primer dan sekunder dalam jumlah besar. Dari sinilah hutan Sumatra mulai tergerus.

Pasca kemerdekaan, jejak kerusakan itu mulai menampakkan akibat. Salah satu banjir besar terjadi pada 1953 di Aceh. Puluhan warga tewas, ribuan kehilangan rumah, dan infrastruktur rusak. Pemerintah kala itu menegaskan penyebab bencana adalah penebangan hutan yang tak terkendali.

"Pihak berwajib menerangkan bahwa banjir besar ini terjadi karena hutan dan gunung sekitar Aceh Besar banyak yang telah ditebangi oleh penduduk yang tidak menghiraukan arahan pemerintah," tulis de Locomotief (3 Februari 1953).

Kini, anugerah yang sama justru berubah menjadi sumber masalah. Masifnya perkebunan sawit, yang daya serap airnya tidak sebaik hutan alam, serta dugaan aktivitas pertambangan dan pembalakan liar yang dibiarkan terus terjadi membuat Sumatra semakin rentan terhadap bencana.

(mfa/mfa)

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research