REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah menargetkan penerapan uji tuntas hak asasi manusia (HAM) bagi pelaku usaha mulai disosialisasikan secara luas pada 2026. Kebijakan ini disiapkan sebagai fondasi agar praktik bisnis nasional sejalan dengan standar HAM global.
Kementerian Hak Asasi Manusia telah menyusun kebijakan Uji Tuntas HAM sepanjang 2025 dan menyiapkan tahapan implementasi bertahap. Pada 2026, fokus diarahkan pada sosialisasi masif, penguatan kantor wilayah, piloting, pendampingan, serta pengembangan platform PRISMA.
“Di 2026 sosialisasi secara masif, koordinasi intensif, penguatan Kanwil Kemenham, piloting dan pendampingan, serta pengembangan platform PRISMA (Penilaian Risiko Bisnis dan HAM),” kata Direktur Penyusunan dan Evaluasi Instrumen HAM Kementerian HAM, Sofia Alatas, dalam dialog media di Menteng, Jakarta, Selasa (23/12/2025).
Sofia menyebut pelaksanaan piloting dan pendampingan Uji Tuntas HAM akan berlanjut pada 2027. Pemerintah menargetkan pada 2028–2029, pelaku usaha sudah wajib melaksanakan Uji Tuntas HAM dalam kegiatan bisnisnya.
“2028–2029 diharapkan sudah menjadi kewajiban pelaku usaha melaksanakan Uji Tuntas HAM,” ujar Sofia.
Kepala Djokosoetono Research Center, Patricia Rinwigati, menilai kebijakan ini perlu segera diberlakukan karena HAM telah menjadi isu global dalam tata kelola bisnis. Ia menekankan standar tersebut telah diatur dalam United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights.
“Kalau dilihat sepuluh tahun terakhir trennya itu banyak negara kemudian mengadopsi UNGP tersebut di antaranya adalah negara-negara di Eropa termasuk European Union,” ujar Patricia. Menurut Patricia, negara-negara Asia seperti Jepang, Korea Selatan, dan Thailand juga telah bergerak ke arah regulasi serupa.
Pendiri Lokataru Foundation, Haris Azhar, menilai bencana alam di sejumlah daerah menjadi pengingat kuat pentingnya Uji Tuntas HAM dalam praktik bisnis. Ia menegaskan industri tidak bisa hanya mengejar keuntungan tanpa mempertimbangkan dampak kemanusiaan.
“Jauh lebih penting lagi sekarang adalah praktik bisnis dan industri itu juga harus manusiawi karena kerusakannya sudah depan mata sekarang,” ujar Haris.
Haris juga mengkritisi lambatnya penerbitan Peraturan Presiden tentang Bisnis dan HAM yang hingga kini masih berada di meja Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto. Padahal, regulasi tersebut dinilai strategis di tengah proses Indonesia menuju keanggotaan Organisation for Economic Co-operation and Development.
“Sejauh ini drafnya belum dapet persetujuan dari kantornya saudara Airlangga Hartarto, padahal dalam waktu yang samaan Indonesia juga sedang dalam proses menjadi anggota OECD,” ucap Haris.
Perpres Bisnis dan HAM dimaksudkan untuk menerapkan Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan HAM dalam praktik usaha nasional. Regulasi ini menegaskan kewajiban negara melindungi HAM, tanggung jawab perusahaan menghormati HAM, serta membuka akses pemulihan bagi korban pelanggaran HAM terkait aktivitas bisnis.
Penerapan UNGPs juga dinilai memperkuat daya saing perusahaan Indonesia di pasar global. Banyak skema perdagangan internasional kini mensyaratkan produk dan jasa berasal dari perusahaan yang menghormati HAM dan tidak melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan.
Thailand, sebagai sesama negara ASEAN, tengah menyusun regulasi Uji Tuntas HAM yang bersifat wajib seiring proses aksesi ke OECD. Langkah tersebut disebut menjadi salah satu pembanding bagi Indonesia dalam merumuskan kebijakan Bisnis dan HAM ke depan.

3 hours ago
3













































