Yogyakarta, CNN Indonesia --
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir menyatakan tak sepakat dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan agar pendidikan dasar di swasta tidak dipungut biaya.
"Ya, betul (tidak sepakat)," kata Haedar usai groundbreaking pembangunan gedung TK ABA Semesta di Gamping, Sleman, DIY, Selasa (3/6).
Dikutip dari laman resmi Muhammadiyah, ormas keagamaan yang berdiri sejak 1912 ini juga memiliki amal usaha pendidikan alias sekolah. Jumlah sekolah Muhammadiyah dari SD/sederajat sampai SMA/sederajat berjumlah 5.346 sekolah. Rincian, satuan pendidikan ini SD/MI berjumlah 2.453 sekolah. Selanjutnya SMP/MTs berjumlah 1.599 sekolah. SMA/MA/SMK berjumlah 1.294 sekolah. Jumlah ini menampung lebih dari satu juta peserta didik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Haedar khawatir putusan MK yang dimaksudkan untuk mengakhiri diskriminasi pembiayaan sekolah dasar di Indonesia malah justru mematikan penyelenggaraan pendidikan secara nasional.
Pasalnya, Haedar menilai swasta tetap memiliki peran strategis dalam penyelenggaraan pendidikan di negara ini. Dia cemas akan ada efek domino yang ditimbulkan melalui putusan MK ini.
"Kami juga sekaligus mengimbau kepada 13 anggota MK belajar seksama. Jadi negarawan, dan dalam memutuskan itu harus betul-betul komprehensif. Jangan karena ada satu dua gugatan, lalu mudah memenuhi gugatan itu," pesannya.
Di lain sisi, Haedar meragukan pemerintah memiliki anggaran pendidikan yang cukup ketika 20 persen APBD dan APBN dialokasikan untuk sekolah negeri serta swasta.
Apalagi swasta, lanjut Haedar, memiliki dinamika internal yang selalu ingin berkembang dan berubah secara cepat.
Oleh karenanya, Haedar berharap koordinasi antarlembaga dalam mengimplementasikan putusan MK ini baiknya tetap bisa memberikan keleluasan kepada swasta.
Dia meminta agar putusan MK ini bisa diimplementasikan secara seksama, komprehensif sekaligus berpijak pada realitas dunia pendidikan Indonesia. Terlebih, klaimnya, Muhammadiyah sebagai organisasi masyarakat (ormas) jauh dari kepentingan-kepentingan bisnis selama menyelenggarakan pendidikan.
Muhammadiyah, kata Haedar, juga belum sampai mendirikan sekolah eksklusif dan tetap menghadirkan pendidikan bagi masyarakat umum atau terbuka untuk semua golongan ekonomi.
"Saya berharap, ketika merumuskan kebijakan-kebijakan dan menetapkan kebijakan dari eksekutif, legislatif, yudikatif seksama, lah, perhatikan konstitusi, perhatikan kemaslahatan bangsa, dan perhatikan realitas pendidikan dan dunia pendidikan Indonesia, di mana swasta punya peran yang sangat strategis," tegas Haedar.
Bagaimanapun, lanjut Haedar, PP Muhammadiyah masih akan melihat bagaimana pengimplementasian putusan MK ini ke depannya dan akan melihat efeknya bagi sekolah-sekolah swasta di RI.
"Kita lihat perkembangannya, ya, kita lihat perkembangannya. Kalau kemudian penerjemahannya seperti yang disampaikan oleh Pak Menteri Pendidikan (Mendikdasmen, Abdul Mu'ti) itu hanya payung umum yang payung operasionalnya tetap seperti sekarang ini, atau ada hal-hal yang nanti berdampak buruk, baru di situ kita mengambil kebijakan," katanya.
Sebelumnya MK mengabulkan gugatan uji materiil atas UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. MK memerintahkan agar pendidikan dasar di swasta tidak memungut biaya.
Majelis hakim konstitusi menyatakan pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas itu bertentangan dengan konstitusi selama tidak dimaknai, 'Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat'.
Dalam pertimbangannya, hakim Enny Nurbaningsih menyampaikan pemohon mendalilkan frasa 'wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya' di Pasal 34 ayat 2 UU 20/2003 menimbulkan multitafsir dan perlakuan diskriminatif.
MK pun mengubah norma frasa tersebut menjadi, "Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat."
Di sisi lain putusan MK tersebut tidak melarang sekolah atau madrasah swasta tertentu untuk memungut biaya dari peserta didik.
Sekolah swasta tertentu yang dimaksud MK, antara lain, sekolah swasta yang menawarkan kurikulum tambahan selain kurikulum nasional dan sekolah swasta yang selama ini tidak menerima bantuan anggaran dari pemerintah.
Hakim Enny mengatakan bahwa Mahkamah memahami tidak seluruh sekolah swasta dapat disamakan dalam hal pembiayaan yang melatarbelakangi adanya pungutan biaya kepada peserta didik.
MK dalam hal ini menyoroti sejumlah sekolah swasta yang menerapkan kurikulum tambahan selain kurikulum nasional, seperti kurikulum internasional atau keagamaan, yang merupakan kekhasan dan dijadikan sebagai nilai jual atau keunggulan sekolah tersebut.
Sekolah swasta yang seperti itu memengaruhi tujuan peserta didik mengenyam pendidikan dasar di sekolah tersebut. Mereka yang memilih bersekolah di sekolah swasta dengan kurikulum tersendiri tidak sepenuhnya didasarkan atas ketiadaan akses terhadap sekolah negeri, melainkan lebih kepada alasan preferensi.
"Dalam kasus ini, peserta didik secara sadar memahami konsekuensi pembiayaan yang lebih tinggi sesuai dengan pilihan dan motivasinya ketika memutuskan untuk mengikuti pendidikan dasar di sekolah/madrasah tertentu," kata Enny saat membacakan pertimbangan hukum Putusan Nomor 3/PUU-XXII/2024 di MK RI, Jakarta, Selasa (27/5).
(kum/wis)