Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar saham pada perdagangan hari ini bergerak mengejurkan dengan jatuh nyaris 4%. Kejatuhan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) disinyalir karena sentimen Morgan Stanley Capital International (MSCI) tengah melakukan penyesuaian perhitungan float Indonesia. Kondisi ini memicu investor asing kabur ramai-ramai dari Bursa Saham Tanah Air.
Pada perdagangan sesi I Senin (27/10/2025), IHSG jatuh 2,94% di level 8.028,34. Pada perdagangan intraday sesi I, IHSG sempat terjatuh 3,70% di level 7.965,47.
Jatuhnya IHSG usai MSCI mengumumkan bahwa mereka sedang melakukan konsultasi terkait perhitungan free-float konstituen Indonesia.
"Kami sedang mempelajari (faktor jatuhnya IHSG) kemungkinan ada perubahan dari MSCI" tutur Associate Director Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nicodemus alias Nico, kepada CNBC Indonesia.
Senior Market Analyst PT Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta menjelaskan salah satu faktor jatuhnya IHSG adalah karena MSCI sedang mengkaji ulang cara menghitung free float (saham yang beredar dan bisa diperdagangkan publik) untuk perusahaan-perusahaan Indonesia yang menjadi bagian dari indeks mereka.
Dia menjelaskan MSCI membuka konsultasi dan akan menerima masukan dari pelaku pasar hingga 31 Desember 2025, lalu hasilnya akan diumumkan paling lambat 30 Januari 2026.
"Sepertinya terjadi perubahan metode free float. Mereka melakukan konsultasi terhadap free float. Ini bisa terkait perbedaan metodologi free float perbedaan perspektif saham Indonesia perhitungannya Supaya persepsinya bisa disamakan. Jika belum bisa disamakan. Saham saham konglo kan terjadi penurunan karena ada risiko dikeluarkan dari MSCI indeks," ujar Nafan kepada CNBC.
Untuk saham yang sudah termasuk indeks IMI (MSCI Indonesia Investable Market Index), penyesuaian akan diterapkan saat review Mei 2026. Untuk saham yang belum termasuk IMI, aturan baru bisa langsung diberlakukan sebelum review Mei 2026 untuk menghindari perubahan besar yang mendadak (reverse turnover).
MSCI mengusulkan dua pendekatan baru, dan akan memilih yang lebih rendah nilainya (lebih konservatif).
Pertama, pendekatan 1, berdasarkan data kepemilikan yang diungkapkan oleh perusahaan (laporan tahunan, pengajuan resmi, dan siaran pers), serta data dari KSEI (lembaga kliring Indonesia). Dalam pendekatan ini, saham-saham yang tercatat sebagai Scrip (tidak jelas kepemilikannya di data KSEI), dan dimiliki oleh korporasi atau kategori lainnya, akan dianggap bukan free float.
Pendekatan 2, menggunakan data KSEI, dengan menganggap hanya saham Scrip dan saham milik korporasi sebagai non-free float.
Mulai review Mei 2026, MSCI juga akan mengubah cara mereka membulatkan angka free float:
• High float (>25%) dibulatkan ke kelipatan 2,5% terdekat
• Low float (5-25%) dibulatkan ke kelipatan 0,5% terdekat
• Very low float (
Dampaknya bagi Indonesia, karena banyak perusahaan Indonesia memiliki kepemilikan besar oleh korporasi atau kelompok tertentu (bukan publik), aturan baru ini bisa menurunkan nilai free float mereka. Akibatnya, porsi saham Indonesia dalam indeks MSCI bisa turun, yang berpotensi menyebabkan arus keluar modal asing (capital outflow).
Selain itu, selama ini beberapa saham Indonesia diuntungkan dari aturan pembulatan lama, sehingga jika aturan baru diterapkan, mereka bisa kehilangan posisi di indeks.
Dan saham yang paling berisiko dikeluarkan dari indeks (urut dari risiko tertinggi) yakni PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk (CUAN), PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), dan PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF).
Jadwal Rebalancing
Diketahui pada awal bulan depan, MSCI akan kembali melakukan rebalancing.
Apa itu Rebalancing Index?
Rebalancing indeks adalah proses penyesuaian kembali komposisi saham-saham dalam suatu indeks saham, agar tetap mencerminkan tujuan, kriteria, atau metodologi yang ditetapkan oleh penyusun indeks.
Indeks saham bisa disusun oleh berbagai pihak, tergantung pada tujuan dan ruang lingkup penggunaannya. Penyedia indeks global seperti MSCI, FTSE Russell, dan S&P Dow Jones merupakan lembaga independen yang secara profesional menyusun indeks untuk dijadikan acuan investasi oleh investor di seluruh dunia.
Selain itu, bursa efek di masing-masing negara, seperti Bursa Efek Indonesia (BEI), juga menyusun indeks-indeks lokal seperti IHSG, LQ45, dan IDX30 sebagai indikator kinerja pasar domestik.
Di luar itu, lembaga riset, perusahaan sekuritas, atau manajer investasi juga dapat membuat indeks mereka sendiri untuk keperluan analisis atau peluncuran produk investasi seperti reksa dana atau ETF.
Bahkan, dalam beberapa kasus, indeks juga bisa disusun oleh otoritas pemerintah atau regulator untuk memantau sektor tertentu dalam perekonomian. Yang terpenting, sebuah indeks harus disusun dengan metodologi yang jelas, konsisten, dan transparan agar dapat diandalkan serta diterima secara luas.
Misalnya, jika suatu indeks hanya mencakup saham-saham dengan kapitalisasi besar, maka ketika ada saham yang tidak lagi memenuhi kriteria tersebut (misalnya nilainya turun drastis), saham itu bisa dikeluarkan dari indeks dan digantikan oleh saham lain yang lebih sesuai.
Rebalancing Index Paling Dinanti Pasar : MSCI dan FTSE
Dalam ranah global, ada dua lembaga utama yang sering melakukan rebalancing dan cukup dinanti-nanti oleh pelaku pasar, yaitu FTSE (Financial Times Stock Exchange) dan MSCI (Morgan Stanley Capital International).
Dua indeks ini menjadi perhatian investor asing untuk investasi di negara-negara tertentu, baik itu negara maju dan berkembang, termasuk Indonesia.
Setiap kali jadwal rebalancing MSCI mendekat, fund manager asing, investor ritel pun ikut menyoroti pengumuman tersebut. Pasalnya, Indeks MSCI seperti MSCI Emerging Markets, MSCI Asia ex-Japan, atau MSCI Indonesia, dijadikan patokan oleh investor global dalam mengalokasikan dana ke negara-negara berkembang.
Arus dana besar bisa masuk ke saham yang baru ditambahkan, sementara saham yang dikeluarkan cenderung dibuang oleh investor institusi.
Tak jarang, saham yang diumumkan akan masuk ke dalam indeks MSCI langsung melonjak karena permintaan mendadak. Sebaliknya, saham yang didepak dari daftar MSCI bisa turun tajam karena tekanan jual.
Fenomena ini dikenal sebagai MSCI effect, dan sering dimanfaatkan investor sebagai peluang jangka pendek.
Tak hanya dana pasif, bahkan manajer investasi aktif sekalipun turut menjadikan MSCI sebagai referensi. Rebalancing menjadi momen krusial untuk mengevaluasi strategi alokasi aset, terutama bagi dana kelolaan besar.
Namun, momentum pengumuman MSCI sering dimanfaatkan pelaku pasar untuk berspekulasi terhadap saham-saham yang berpotensi masuk. Ini menciptakan volatilitas jangka pendek yang bisa dimanfaatkan oleh trader aktif.
Adapun beberapa keuntungan yang didapatkan jika suatu saham bisa masuk sebagai konstituen indeks FTSE maupun MSCI :
1. Meningkatkan minat investor asing maupun lokal yang mau masuk ke suatu saham konstituen MSCI/FTSE Likuiditas saham bisa meningkat karena lebih banyak diperdagangkan oleh berbagai institusi.
2. Masuknya saham ke indeks juga sering memicu kenaikan volatilitas harga, yang bisa menciptakan peluang menarik bagi para trader untuk memanfaatkan momentum jangka pendek.
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(saw/saw)













































