Uang yang Beranak, Dunia yang Tercekik

8 hours ago 3

Image Ana Fras

Edukasi | 2025-11-02 06:27:51

Foto: Republika/Musiron

Bayangkan kamu punya uang sepuluh juta rupiah dan tidak perlu bekerja. Kamu hanya menyimpannya lalu meminjamkannya kepada orang lain dengan janji akan dikembalikan dua belas juta bulan depan. Kamu merasa pintar karena uangmu bertambah tanpa harus berkeringat, tanpa risiko, tanpa usaha. Tapi di balik dua juta tambahan itu ada orang lain yang harus bekerja lebih keras, menanggung lebih banyak tekanan, dan bahkan tetap membayar walau usahanya gagal. Di situlah awal ketidakadilan dimulai, ketika uang bisa beranak tanpa kerja dan keuntungan tidak lagi berasal dari hasil keringat melainkan dari waktu dan kuasa.

Sistem seperti ini kini menjadi dasar ekonomi dunia. Semua berjalan di atas bunga, dari pinjaman rumah, cicilan motor, kartu kredit, hingga utang negara. Akibatnya jumlah uang yang harus dikembalikan selalu lebih besar dari uang yang beredar. Dunia pun terjebak dalam lingkaran utang yang tidak pernah selesai. Menurut data lembaga keuangan dunia, total utang global kini lebih dari tiga setengah kali lipat nilai seluruh ekonomi dunia. Artinya untuk setiap satu rupiah nilai nyata yang diciptakan, ada tiga rupiah utang yang menumpang di atasnya. Pada saat yang sama 1 % orang terkaya di dunia memiliki kekayaan lebih besar dari 99% sisanya digabungkan. Ketimpangan ini bukan sekadar kebetulan, tetapi akibat langsung dari sistem yang membiarkan uang bekerja sendiri tanpa batas.

Kita bisa melihat dampaknya di sekitar. Harga rumah melambung tinggi, tapi gaji tetap berjalan di tempat. Anak muda kesulitan membeli tempat tinggal dan banyak keluarga hidup dari cicilan ke cicilan. Orang biasa bekerja keras untuk membayar bunga, sementara segelintir orang kaya hidup dari bunga itu. Dunia tampak sibuk bekerja, tapi arah kerjanya terbalik. Orang miskin bekerja untuk orang kaya, dan orang kaya bekerja untuk uang.

Bunga juga membuat ekonomi rapuh. Ketika suku bunga rendah, uang murah mengalir deras ke pasar, harga aset naik, dan orang merasa makmur. Tapi ketika bunga naik, semua itu runtuh. Krisis demi krisis datang silih berganti, dari krisis Asia sampai krisis global, dan resep yang dipakai selalu sama: cetak uang baru dan tambal dengan utang baru. Ekonomi terlihat hidup, tetapi yang hidup hanya angka di layar komputer bank sentral.

Banyak ekonom sudah lama memperingatkan hal ini. Thomas Piketty menunjukkan bahwa uang tumbuh lebih cepat daripada ekonomi riil, sehingga kekayaan terkonsentrasi di tangan segelintir orang. Michael Hudson menyebut sistem ini kapitalisme rente, di mana uang menghasilkan uang tanpa melalui produksi. Nouriel Roubini menggambarkannya sebagai gelembung besar yang sewaktu-waktu bisa pecah karena kehilangan penopang nilai riil. Semua tanda-tandanya ada di depan mata: harga naik, kesenjangan melebar, dan utang menumpuk tanpa henti.

Inilah yang disebut entropi finansial, ketika sistem ekonomi kehilangan keseimbangan dan mulai memakan dirinya sendiri. Energi ekonomi yang seharusnya digunakan untuk mencipta nilai justru terserap untuk menjaga sistem utang tetap berjalan. Akibatnya, ekonomi dunia seperti mesin tua yang terus dipacu meski bahan bakarnya menipis. Setiap tambahan utang hanya menunda kehancuran, bukan mencegahnya.

Namun kerusakan terbesar dari sistem ribawi bukan hanya pada angka dan neraca, melainkan pada manusia itu sendiri. Ketika uang bisa tumbuh tanpa kerja, kerja manusia kehilangan makna. Ketika bunga menjadi hukum, keadilan menjadi korban. Sistem ini mengubah cara kita melihat hidup: kita menilai manusia dari kekayaannya, bukan dari kontribusinya. Orang yang menimbun uang dipuji, sementara yang bekerja keras tapi miskin dianggap gagal.

Sistem ribawi menipu manusia dengan ilusi kemakmuran. Ia menumbuhkan angka tapi mematikan nurani. Ia membuat pertumbuhan ekonomi terasa penting tapi melupakan pertumbuhan kemanusiaan. Dan ketika uang terus beranak dari uang, pada akhirnya yang mati bukan hanya ekonomi, tapi kepercayaan kita pada keadilan. Dunia yang diatur dengan bunga adalah dunia yang perlahan kehilangan ruhnya, karena di sana kerja keras tak lagi dihargai dan kebaikan kalah oleh kepemilikan. Uang terus bertambah, tapi nilai-nilai kemanusiaan pada diri manusia semakin berkurang.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research