Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Jepang memberikan kado berupa paket stimulus senilai ribuan triliun rupiah untuk menopang belanja konsumen. Sementara di Indonesia, akan ada kenaikan tarif PPN - iuran BPJS yang berdampak pada pelemahan daya beli masyarakat.
Paket Stimulus Jepang
Pemerintah Jepang, di bawah Perdana Menteri Shigeru Ishiba, pada Jumat (22/11/2024) dijadwalkan menyetujui paket stimulus senilai US$140 miliar atau sekitar Rp2.226 triliun untuk meningkatkan daya beli masyarakat dan mendukung pemulihan ekonomi.
Langkah ini menyusul hasil pemilu 27 Oktober lalu, di mana koalisi Ishiba kehilangan mayoritas di majelis rendah setelah performa terburuk Partai Demokrat Liberal (LDP) dalam 15 tahun akibat isu korupsi dan inflasi.
Yoshimasa Hayashi, juru bicara pemerintah, menjelaskan bahwa paket ini akan menghasilkan dampak ekonomi senilai 39 triliun yen atau sekitar Rp3.978 triliun dengan tambahan belanja anggaran sebesar 13,9 triliun yen atau sekitar Rp1.417 triliun.
Paket ini mencakup subsidi energi, bantuan tunai hingga 30.000 yen (Rp4,4 juta) untuk rumah tangga berpenghasilan rendah, serta peningkatan investasi di sektor teknologi seperti semikonduktor dan kecerdasan buatan. Pemerintah juga berencana membeli saham senilai 200 miliar yen di proyek chip generasi berikutnya, Rapidus.
Selain itu, Ishiba menjanjikan investasi 10 triliun yen hingga 2030 untuk memulihkan keunggulan teknologi Jepang yang sempat mendominasi dunia pada 1980-an.
Pemerintah akan mengajukan anggaran tambahan untuk membiayai paket ini, termasuk mengadopsi penghapusan ambang batas pajak penghasilan yang diusulkan Partai Demokrat untuk Rakyat (DPP). Langkah ini bertujuan mendorong pekerja paruh waktu untuk meningkatkan jam kerja dan pendapatan.
Kontras dengan Jepang, dari dalam negeri malah terjadi hal sebaliknya, di mana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% sampai BPJS untuk tahun depan.
Indonesia : Kenaikan BPJS - PPN Jadi 12%
Dikabarkan, pemerintah akan menaikkan PPN menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Kebijakan tersebut adalah mandat dari Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
PPN 12% akan dikenakan terhadap seluruh barang dan jasa kecuali barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, dan beberapa jenis jasa lainnya, diberikan fasilitas pembebasan PPN.
Kenaikan PPN tentu saja dapat mendorong peningkatan beban terhadap masyarakat kelas menengah hingga bawah mengingat mereka harus membayar lebih mahal barang yang mereka beli mulai baju, pulsa, hingga makanan.
Iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan juga berpotensi naik pada 2025. Hal ini tertera dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan.
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti menjelaskan, dalam Pasal 103B Ayat 8 mengatur bahwa penetapan iuran, manfaat, dan tarif pelayanan ditetapkan paling lambat 1 Juli 2025.
"Anda baca di Perpres 59. Dievaluasi, lalu nanti di maksimum 1 Juli 2025. Nah, itu iurannya kemudian tarif dan manfaatnya akan ditetapkan," kata Ghufron usai Rapat Dengar Pendapat (RDP) Dewan Pengawas dan Direktur Utama BPJS Kesehatan dengan Komisi IX DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, dikutip Selasa (19/11/2024).
Saat ini, Ghufron pun belum dapat memastikan apakah iuran peserta JKN akan naik atau tetap. Sebab, pihak yang berwenang untuk menetapkan hal tersebut bukan BPJS Kesehatan, tapi pemerintah.
Namun, ia menegaskan bahwa BPJS Kesehatan ingin penetapan terkait iuran, manfaat, dan tarif pelayanan disesuaikan dengan berbagai pertimbangan, termasuk politik hingga kemampuan membayar.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(tsn/tsn)