Jakarta, CNBC Indonesia - Lonjakan kasus penyakit pada anak mulai terlihat di wilayah terdampak banjir dan longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) melaporkan banyak anak pengungsi mengalami ISPA, diare, infeksi kulit, hingga pneumonia akibat kondisi pengungsian yang padat, udara lembap, serta minimnya air bersih.
Ketua Umum IDAI, Dr Piprim Basarah Yanuarso mengatakan, anak-anak menjadi kelompok paling rentan sejak bencana hidrometeorologi melanda akhir November.
"Situasi ini membuat anak berisiko tinggi terkena infeksi saluran napas, diare, dan masalah kulit. Kondisi mereka harus menjadi prioritas utama," ujarnya dalam siaran pers yang diterima CNBC Indonesia, Selasa (2/12/2025).
Tim IDAI yang turun di sejumlah wilayah menemukan gejala penyakit yang seragam seperti batuk pilek berat, sesak napas, diare akut, hingga luka kulit yang terinfeksi. Berikut catatan temuan lapangan:
- Binjai (Sumut): 66 anak diperiksa, 37 ISPA, 18 diare, sisanya infeksi kulit.
- Langkat (Sumut): 125 anak diperiksa, 55 ISPA, 58 infeksi kulit.
- Medan Barat: 54 anak diperiksa, 43 ISPA.
- Padang (Sumbar): kasus pneumonia mulai ditemukan, terutama pada balita yang tinggal di hunian sementara berisiko lembap.
- Aceh (Pidie Jaya & Bireuen): tim medis menghadapi banyak anak batuk berat, sesak, dan diare akibat suplai air bersih yang terbatas.
IDAI juga mencatat potensi peningkatan wabah penyakit berbasis imunisasi seperti campak di lokasi-lokasi pengungsian yang padat. Dalam laporan IDAI per 1 Desember, banyak titik terdampak masih terisolasi, membuat bantuan medis dan obat-obatan tidak cepat masuk.
Jalan dan jembatan rusak, listrik padam, serta sinyal telekomunikasi terbatas di Padang, Pariaman, Agam, Pasaman Barat, Sibolga, Tapanuli, hingga Pidie Jaya. Rumah sakit daerah seperti RSUD Pidie Jaya juga mengalami keterbatasan operasional karena tenaga kesehatan tidak bisa mencapai fasilitas.
Ketua IDAI Cabang Aceh, Dr dr Raihan menyampaikan, akses yang dapat dijangkau saat ini baru hingga Pidie Jaya. Tim di sana, kata ia, masih dalam proses pengumpulan data, mengingat beberapa tenaga kesehatan di daerah tersebut juga turut terdampak dan harus mengungsi.
"Di Pidie Jaya, kasus yang muncul serupa, terutama ISPA. Minggu ini juga mulai ditemukan kasus diare, pneumonia atau infeksi saluran napas bawah, serta luka. Kami juga mengantisipasi potensi penyakit infeksi seperti tetanus," kata ia.
Untuk meredam risiko kesehatan yang makin memburuk, IDAI melakukan layanan kesehatan keliling (mobile clinic) di desa-desa terisolasi, pemeriksaan dan pengobatan gratis, distribusi obat ISPA, diare, salep kulit, dan antibiotik.
IDAI juga memberikan MPASI dan makanan bayi melalui kolaborasi dengan AIMI di Sumbar, dan dukungan psikososial dan trauma healing di sejumlah posko, termasuk Padang dan Nanggalo. Di Aceh, IDAI mengirim Emergency Medical Team (EMT) untuk memperkuat fasyankes setempat.
IDAI menyebut masih terjadi kekurangan signifikan seperti obat ISPA dan diare sirup, antibiotik anak, krim kulit. Mereka juga kekurangan air bersih dan makanan anak, selimut, pakaian anak, tenaga kesehatan tambahan, termasuk dokter umum dan perawat.
"Banyak anak yang membutuhkan pemantauan ketat karena ISPA bisa cepat berubah menjadi pneumonia dalam kondisi pengungsian seperti ini," ujar Dr Kurniawan Taufiq Kadafi, Ketua Satgas Bencana IDAI.
IDAI kini memperluas jangkauan bantuan ke wilayah yang belum terjangkau dan memperkuat koordinasi melalui posko komando di Sumbar. Masyarakat dapat membantu dengan menyalurkan bantuan berupa obat-obatan anak, susu formula, makanan bayi, selimut, pakaian anak, air bersih, serta perlengkapan kebersihan. IDAI juga mengajak tenaga kesehatan yang bersedia menjadi relawan di lokasi bencana.
(hsy/hsy)
[Gambas:Video CNBC]
















































